Oleh Ev. Jeremy Wu
1. We are seperated but connected
Saat terjadi wabah di Wuhan, negara negara lain pada berpikir wabah ini hanya menyerang Negara Tiongkok saja. Saat Covid-19 mulai mewabahi Korea, Jepang dan Taiwan, kita di Indonesia juga masih merasa wabah ini tidak akan sampai ke Indonesia. Bersamaan dengan ini, muncul meme yg menggambarkan adanya virus campak, virus malaria, dan lain-lain yang akan mengusir virus Covid-19. Menteri Kesehatan juga menyatakan Covid-19 cukup dilawan dengan berdoa saja. Kita tidak peduli dengan warga Tiongkok yang berjuang mati matian menghadapi wabah ini dan bahkan sampai ribuan orang yang meninggal. Malah ada yang mengejek, mencibir, menghina negara Tiongkok. Kita sama sekali tidak empati apalagi peduli dengan mereka. Wabah itu dianggap urusan negara Tiongkok dan negara lain yang terkena dampak wabah ini. Sebagai orang percaya, kita tidak mendoakan agar wabah ini segera berakhir. Kita _stay calm_. Kita hanya _wait and see_ melihat korban berjatuhan.
Namun ternyata Covid-19 menyerang seluruh planet kita. Mulai saat itu kita peduli kepada warga Wuhan dan berharap agar mereka segera berhasil mengatasi wabah ini.
Covid menyingkapkan bahwa apa yang tidak terjadi pada hidupmu jangan bersikap apatis dan tidak peduli kepada mereka yang menjadi korban. Sesungguhnya masalah orang lain juga masalah kita sebab walaupun kita terpisah oleh batas geografi namun terkoneksi satu dengan yang lain. Apa yg menjadi kemalangan bagi saudara kita di tempat yang jauh bisa saja terjadi pada hidupmu. Virus ini mengajarkan kita untuk hidup lebih manusiawi. Ia mengajak kita untuk menggembangkan _sense of humanity_ yang telah lama terkubur karena egoisme kita.
Jujur saja, sebagai orang percaya pun kita tidak peduli pada awal wabah Covid-19 di Wuhan. Kita sibuk dengan urusan dan pekerjaan kita sendiri. Kita sibuk dengan ibadah Minggu kita. Kita sibuk dengan pelayanan kita dan program program gereja. Tidak ada waktu untuk ber-empati dan mendoakan warga Wuhan. Kita anggap itu kesalahan mereka sendiri.
Menyedihkan bukan? Padahal warga Wuhan adalah ciptaan Tuhan juga. Mereka juga dikasihi Tuhan...tetapi kita mengabaikan mereka.
Christianity without sense of humanity is just like Christianity without Christ.
2. The World needs Sabbath
Selama ini setiap hari, setiap jam, setiap detik, bumi dieksploitasi demi kepentingan manusia. Keserakahan telah membuat bumi ini rusak dan membuat kita melupakan Tuhan. Hasil tambang, hasil laut, hasil hutan dikeruk dengan cepat. Mesin lama yang lambat kerjanya digantikan oleh mesin yang lebih cepat. Kerusakan alam pun tidak terhindarkan akibat keserakahan. Bumi berteriak tetapi tidak ada yang mendengar. Suaranya dikalahkan oleh kebisingan mesin-mesin, aktifitas pabrik, suara kenderaan dan ambisi manusia.
Sekarang, wabah Covid-19 membuat bumi kembali “bernafas" setelah sekian lama dieksploitasi karena sebagian besar aktifitas manusia berhenti untuk sementara waktu. Hasil pengamatan para ahli mengatakan mengatakan kadar CO2 di Wuhan menurun drastis. Mereka juga melaporkan bahwa es di kutub Utara yang selama ini mencair begitu hebatnya kembali membeku. Semua karena Covid-19.
Manusia yang selama ini terus bekerja tanpa henti seperti mesin sehingga waktu teduh bersama Tuhan tidak lagi dinikmati karena berbagai kesibukan.
Wabah Covid-19 ini benar benar memberikan Sabat buat bumi ini, buat saudara dan saya.
Sekarang keluarga bisa berkumpul. Saat teduh dapat menjadi lebih bermakna, dan manusia “dipaksan” untuk kembali bersekutu dengan Khaliknya. Bumi dan manusia dapat melakukan Sabat seperti yg Tuhan inginkan.
Virus ini mengajar kita bahwa bumi perlu Sabat, kita juga perlu Sabat.
Selama menjalani Pembatasan Social Berskala Besar (PSBB) karena Covid-19 ini marilah kita merayakan personal Sabat dengan Tuhan kita. Tuhan memberkati.
Ev. Jermy Wu
Studi M.Miss di Christian Hakka Seminary, Taiwan.
Pelayanan misi di Gereja Air Hidup Taiwan, menjangkau orang-orang Indonesia yang berdomisili di Taiwan